Kisah ini lanjutan dari cerita sebelumnya.
“Huh, kenapa sih aku harus jalan bareng kamu?”, gerutu Libi Musang.
Rufi Rusa melirik ke arah Libi sambil terus melangkahkan kakinya. “Sepertinya itu sudah ke 1037 kalinya kamu bilang begitu?”.
“Huh”, dengus Libi.
Kemarin malam, begitu Libi siuman dan menceritakan tempat tinggalnya, Kakek Tore memang meminta Rufi untuk menemaninya kembali ke dataran di atas air terjun. Meskipun tidak terlalu berbahaya, namun daerah tersebut tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Minimal butuh 4-5 hari perjalanan.
“Yah untuk ke-1037-kalinya,” jawab Rufi, “aku jelaskan bahwa keberadaanku di sini adalah untuk menemanimu kembali ke daerah asalmu”.
Libi cuek, pura-pura tidak mendengar sambil melempar-lempar ranting pohon yang ia pungut sebelumnya ke udara, seperti seorang mayoret.
“Aduh!!!!”, dari atas tiba-tiba terdengar suara lantang.
Libi dan Rufi serentak menoleh ke atas. Terlihat, ada seekor monyet tinggi besar, bertato, dan berjambang lebat, sedang mengelus-elus kepalanya. Ternyata, lemparan ranting Libi secara tidak sengaja mengenai kepala si monyet preman ini.
“Siapa tadi yang melempar ranting ini?”, teriak si monyet.
“Dia!”, jawab si Libi spontan, sambil menudingkan jari ke arah Rufi.
Rufi terlompat kaget. “Hah?! Bukannya kamu yang tadi bermain ranting?”
“Bukan kok, dia, suer”, Libi masih keukeuh berdalih, sambil melangkah mundur setapak demi setapak.
Si monyet besar melirik tajam ke arah Rufi…. kemudian ke arah Libi… balik lagi ke Rufi… dan ke Libi….
“Huh, aku tidak peduli siapa yang sebenarnya tadi melempariku dengan ranting. Pokoknya sekarang, berikan tas pinggang kalian kepadaku. Cepat!!!”
“Tidak bisa,”, jawab Rufi, “ini kan punyaku. Lagipula, isinya adalah bekal makanan kita”.
“Tidak peduli!!!”, teriak si monyet. Makin lantang. “Cepat berikan!!!”, ujar si monyet sambil menggulung lengan bajunya, siap-siap akan menggebuki Rufi dan Libi.
Libi yang badannya sudah semakin gemetar, melepaskan tas pinggangnya, dan melemparkannya ke arah si monyet. Setelah itu, ia pun menggeser dirinya mundur, bersembunyi di belakang punggung Rufi.
Rufi menghela nafas. “Sudahlah,” ujar Rufi dalam hati, “daripada harus ribut-ribut, sebaiknya mengalah saja”. Ia pun turut memberikan tas pinggangnya.
“Begitu dong”, ujar si monyet seraya tersenyum bengis. “Sudah sana pergi, jangan sampai muncul di hadapanku lagi!”.
“Laparrrrrrr”, gerutu Libi sambil memegangi perutnya.
“Huh, emang gara-gara siapa tadi, sampai makanan bekal kita jadi hilang semua”
Libi pura-pura tidak mendengar sambil terus memainkan wajah cemberutnya.
Brakkkk! Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari balik pohon di depan Libi dan Rufi. Penasaran, keduanya melongok dan melihat ada dua ekor tupai kecil. Yang satu, dengan garis putih di ekornya, sedang meringis kesakitan sembari memegang pantatnya. Yang lain, yang bertotol-totol hitam, memegang tangan si putih dan membantunya berdiri.
“Ada apa?”, tanya Rufi, “Kalian terjatuh?”
“Iya kak rusa”, jawab tupai putih, “aku mau mengambil bunga kuning ungu yang ada di bagian atas pohon ini, tapi karena terlalu tinggi, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh”.
“Memang untuk apa bunga itu?”, Rufi mulai penasaran.
Tupai totol hitam maju dan menjawab, “Anu kak, untuk mengobati ibu kami. Kata dokter, ia terkena penyakit langka yang hanya bisa disembuhkan dengan memakan sari bunga tersebut. Kami butuh 7 buah bunga tersebut agar bisa mendapatkan takaran yang cukup bagi ibu kami”.
Rufi terharu. Kedua tupai ini, meskipun masih kecil, berusaha keras untuk membantu ibu mereka yang sedang sakit. Ia melirik ke arah Libi, mencoba melihat reaksinya. Tapi si musang bandel itu ternyata sedang asik ngupil.
“Baiklah, aku akan membantumu”, kata Rufi sambil tersenyum ke arah tupai-tupai kecil tersebut.
“Sungguh kak?”
“Iya, tunggu sebentar ya?”, jawab Rufi sambil mengambil ancang-ancang untuk naik ke pohon.
“Buang-buang waktu aja sih”, gumam Libi, “Mending kan kita jalan terus, siapa tahu ada restoran di depan. Aku udah lapar banget nih”.
Rufi tidak menghiraukan perkataan Libi. Ia pun meloncat naik ke pohon, meraih dahan demi dahan, hingga mencapai puncak tertinggi. Perlahan-lahan, diraihnya bunga kuning unga yang tumbuh mekar di sana.
“Aduh!”, teriak Rufi tertahan. Tiba-tiba lengannya terasa sedikit gatal dan nyeri, seperti ada yang habis menyengatnya. “Ah paling-paling juga lebah”, pikirnya.
Selanjutnya, dengan hati-hati, ia pun turun kembali ke bawah dan menyerahkan bunga tersebut ke tupai totol hitam.
“Nih bunganya!”
“Horeeee!!!!!”, kedua tupai kecil tersebut bersorak sambil melompat-lompat riang. “Terima kasih kak rusa!!!”, seru mereka nyaris bersamaan.
“Iya, iya. Memang kurang berapa bunga lagi yang harus kalian kumpulkan?”
“Dua kak, tapi sepupu kami di ujung hutan tadi SMS dan mengatakan kalau ia melihat bunga kuning ungu tersebut di taman dekat rumahnya”
“Oh bagus deh kalau begitu”
“Iya kak. Kalau begitu kami permisi dulu ya. Oh iya, sebelumnya perkenalkan kak, namaku Pino”, ujar tupai bergaris putih, “dan ini saudaraku, Poni”.
“Ah iya, aku Rufi, dan itu temanku”, Rufi melirik Libi yang sekarang sedang asik maen gaplek sendirian, “Libi”.
“Oh iya kak”, seolah teringat sesuatu Poni berkata, “tadi kan teman kakak bilang kalau ia kelaparan. Nah ini kebetulan kami bawa bekal cukup banyak. Ambil saja kak, hitung-hitung sebagai tanda terima kasih kami atas bantuan kakak”. Ia pun menyerahkan sebungkus makanan kepada Rufi.
Rufi terdiam. Ia tidak menyangka mereka akan memberikan bekalnya kepadanya. “Sungguh? Apa kalian punya bekal yang cukup untuk perjalanan selanjutnya?”
“Cukup kak,” jawab Pino, “kan sebentar lagi juga sampai di rumah saudara kami. Aku dan Poni bisa minta bekal baru di sana untuk perjalanan pulang”.
“Baiklah kalau begitu”, ujar Rufi, “Terima kasih banyak ya!”
“Iya kak. Sampai jumpa lagi kak!”, jawab Pino dan Poni sambil berlari dan melambaikan tangannya.
Rufi tersenyum. Ia pun membuka bungkusan bekal yang diberikan dan melihat ke dalam, ternyata cukup banyak juga makanan yang ada di dalamnya. Cukup untuk perjalanan 1-2 hari ke depan.
“Apa tuh, makanan ya?”, teriak Libi sambil merebut bungkusan yang dipegang Rufi. “Wah iya, asik, akhirnya aku bisa makannnnn!!!!”
“Coba lihat,” ujar Rufi pada Libi, “kalau kita membantu sesama dengan tulus, pasti kita akan mendapatkan imbalan yang setimpal”
Libi cuek. Mulutnya, dan mungkin juga pikirannya, sudah penuh dengan makanan.
Rufi menghela nafas dalam melihat tingkah Libi. Ia pun mendekat untuk mengambil sedikit makanan dari bungkusan bekal yang dipegang Libi erat-erat. Lengannya masih agak terasa sedikit gatal.
“Bagi dong, jangan dihabiskan sendiri. Simpan juga untuk perjalanan kita besok”.
bersambung…
20 replies on “Pino dan Poni”
Masih bersambung 🙂 Tapi semoga berikutnya gak akan terlalu seperti kemarin munculnya, hehehe. Doain yah 🙂
lalalalal ~
awawawa
wawawaw
awawawaw
awawawaw
Baru kali ini aku denger bisa smsan 😀 hehehe2x
Belum mbaca
Ceritanya bagus, cuma penokohannya agak aneh. Seharusnya tupai yang pandai memanjat, bukan rusa.
@maswiro
di sini emang semuanya diputer kok mas 🙂 lagipula tupai jg gak sms-an kan? 😀
mungkin format tulisannya 😀
biar ndak terkesan berat,, n ada jeda yg jelas mas.
bagus kok tulisannya mas 🙂 smngat dech.. The Great teacher adalh guru yang mampu memberi motivasi utk berubah 😀
Asyik cerita..saya merasa senang membacanya..salam dari saya dan Kakak Anisa
wah si bos pinter ngarang cerita juga ternyata hihihihi
gw gaG bGtu sKa ma doNgeng nIe . . .
punya dongeng bwat anak smp ndak??? bagi – bagi dunkz…oiya satu lagi trik n tips ndongeng biyar ndak di tinggal pendengar g’mana yaaa…. tq… ; )
asyik……………
penokohan yg unik. moga2 endingnya dalem ya…..
Critny mnrik..,tp yqn dch klo crtany dikemas dgn crta2 yg lbh simpel psti…Lbh seru..!!!
walah… lg asyik2 nya malah bersambung….
How soon will you update your blog? I’m interested in reading some more information on this issue.
sip memang membantu sesama sangat penting sekali
kita akan mendapat bantuan apabila kita sering membantu
Stop Dreaming Start Action
penokohan yg unik. moga2 endingnya dalem ya…..
dongeng binatangnya mau nya yang lucu-lucu deh……
salam ANDRE si pemberani
siip bener bgt,apa yg kita kerjakan pasti ada balasan nya