Categories
Fabel

Selamat Jalan, Rufi Rusa?

Kisah ini lanjutan dari cerita sebelumnya.

(enam hari sesudah bendungan jebol)

Libi hanya bisa tertegun menyaksikan sambutan penduduk hutan terhadapnya. Wajahnya menunduk 90 derajat. Langkah kakinya terhenti tepat di bawah spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang Kembali, Libi Musang” yang dipasang penduduk hutan tepat di depan gerbang masuk tempat tinggal mereka. Rufi Rusa mendorongnya perlahan.

“Ayo sana, jalan. Temui teman-temanmu,” ujarnya berbisik sambil tersenyum.

Dada Libi terasa sesak. Malu rasanya melangkahkan kaki kembali ke kampung halamannya itu mengingat apa yang pernah ia lakukan selama ini terhadap penduduk hutan yang lain. Apalagi, di belakang pak Beri Beruang, tampak Cabi Babi dan ibunya, bu Gembul Babi, berdiri. Turut menyambut kedatangannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Selagi Libi menimbang-nimbang kaki mana yang akan ia langkahkan terlebih dahulu, Kaka Kancil sudah mendatanginya.

“Halo Libi, kami sudah tidak sabar menunggu kedatanganmu,” sambutnya sambil menjulurkan tangannya mengajak bersalaman.

“Uh.. eh.. iya, terima kasih,” tergagap Libi menyambut uluran tangan Kaka.

Sedetik kemudian, mulailah secara bergantian penduduk hutan datang dan menghampiri Libi. Menyalaminya, menepuk pundaknya, dan menanyakan kabarnya. Semua tampak tulus melakukannya, tanpa ada perasaan dendam, benci, dan sebagainya.

Perut Libi terasa melilit. Ia teringat kembali dengan hal-hal buruk yang sering ia lakukan terhadap penduduk hutan tersebut. Menjaili mereka, menipu mereka, bahkan terkadang mencuri makanan mereka. Dan lilitan itu terasa makin erat saat bu Gembul menghampiri dan memeluknya.

“Ternyata kamu selamat, nak Libi! Waktu itu aku sama tidak bisa membayangkan bagaimana nasibmu di tengah gelombang air bendungan yang ganas dan deras itu.”

Libi melirik wajah bundar Cabi yang berdiri di samping ibunya. Sedikit demi sedikit ia memberanikan diri menatap wajah bu Gembul dan berusaha membuka mulutnya.

“Ma.. ma… maaf.. maafkan aku,” ucapnya terpatah, “waktu itu… aku sama sekali tidak bermaksud… mencelakakan Cabi.”

“Ah, sudahlah,” jawab bu Gembul. “Yang penting kan dia selamat. Dan lebih penting lagi, kamu juga sudah kembali ke hutan kita. Mari sama-sama kita lupakan kejadian itu.”

Libi masih tidak percaya saat bu Gembul mengucapkan kalimat tersebut dengan lembut. Namun ketika beberapa binatang mulai mengerumuninya dan memintanya bercerita mengenai apa yang terjadi selama ini, sedikit demi sedikit perutnya terasa lebih longgar.

Beberapa meter dari tempat Libi berada, Rufi sedang berbicang bersama pak Beri, Soni Semut, bu Beri Berang-Berang, dan beberapa binatang yang menjadi tetua di hutan tersebut. Ia menjelaskan kepada mereka mengenai siapa dirinya dan mengapa ia bisa sampai ikut mengantarkan Libi kembali ke hutan tempat tinggalnya. Pak Beri yang sedikit banyak sudah mengetahui permasalahan tersebut ikut semangat bercerita — terutama kepada bu Beri yang terus mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia menyimak dengan baik apa yang dikatakan oleh pak Beri.


Tak terasa sudah hampir satu jam sejak Rufi dan Libi tiba di hutan tempat tinggal mereka. Sebagian penduduk hutan sudah kembali melanjutkan aktivitas mereka sehari-hari. Hanya tersisa Rufi, pak Beri, bu Beri, serta Libi dan beberapa anak binatang yang serius mendengarkan cerita Libi.

“Dan ketika monyet besar bertato itu marah“, ujar Libi dengan bersemangat, “aku pun maju ke depan untuk melindungi Rufi dari serangan si monyet preman itu.”

Libi berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya. Kini ia sudah tidak canggung lagi berada di situ. Bahkan, ia sangat antusias untuk menceritakan kembali kisah perjalanannya kepada penduduk hutan lain yang mau mendengarkan. Tentu saja dalam versinya sendiri.

Sekilas ia melirik ke arah Rufi, takut jika kawannya ternyata mendengar cerita palsunya itu dan tidak terima. Ternyata, Rufi sedang berpamitan kepada pak Beri dan bu Beri dan selanjutnya melangkah masuk ke dalam hutan.

“Loh, kemana dia pergi ya?”, heran Libi dalam hati.


“Jadi bagaimana, dok?” tanya Rufi cemas.

“Hmmm…,” dokter Surip Burung Hantu mengamati dengan serius benjolan di lengan Rufi. Beberapa saat kemudian ia menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Rufi makin cemas melihat sikap dokter Surip.

“Maaf sekali, nak Rusa. Tampaknya kamu terkena penyakit EntupanLebahtus, sebuah penyakit langka yang disebabkan oleh sengatan lebah GanasBangetus. Jika tidak cepat diobati, dalam waktu tujuh hari nyawamu mungkin sudah tidak akan tertolong lagi.”

Rufi seakan tidak percaya mendengar ucapan sang dokter. Tertahan ia berkata, “Lalu bagaimana, dok? Apa yang harus saya lakukan?”

“Begini. Meskipun ini penyakit langka, untung saja masih ada obatnya. Hanya, obatnya tidak mudah dicari dan seperti saya bilang tadi, waktumu hanya sedikit,” dokter Surip menggeser duduknya dan mengambil sebuah buku berwarna hijau tua dari rak yang ada di sebelah mejanya. Perlahan ia membuka lembar demi lembar buku tersebut hingga akhirnya sampai di sebuah halaman.

“Ini,” dokter Surip menunjukkan sebuah gambar bunga berwarna kuning ungu kepada Rufi, “carilah bunga AntiEntupanLebahtus ini. Bawakan kepada saya minimal tujuh buah bunga dan saya akan segera membuatkan obat untuk penyakitmu itu.”

Rufi tertegun memandang gambar bunga berwarna kuning ungu tersebut. Mendadak ia teringat pada Pino dan Poni, dua ekor tupai kecil yang sempat ia tolong beberapa hari lalu. Ya, keduanya waktu itu sedang mengumpulkan bunga yang sama.

“Ingat,” lanjut dokter Surip, “waktumu tidak banyak, hanya tujuh hari saja. Bunga ini juga cukup susah dicari karena ia biasa tumbuh di tempat-tempat yang tidak umum, seperti di atas puncak pohon atau di dalam semak belukar. Tapi ada cirinya kok. Biasanya, di tempat bunga itu tumbuh, lebah GanasBangetus banyak berkeliaran. Dan karena bentuk dan warna lebah tersebut cukup unik, cukup mudah untuk mengenalinya.”

Dokter Surip mengambil sebuah gulungan kertas dari lemari dan menunjukkan gambar seekor lebah kepada Rufi.

“Seperti inilah bentuk lebah tersebut. Hapalkan dengan baik.”

Rufi hanya bisa mengangguk pasrah. Pikirannya benar-benar terasa kosong. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa niat baiknya waktu itu untuk menolong Pino dan Poni bisa membawanya ke dalam bahaya seperti sekarang ini. Dengan gontai ia kemudian melangkah keluar ruangan praktek dokter Surip dan membayar ongkos konsultasi kepada nona Agnes Angsa yang sedang membaca buku berjudul “Stop Dreaming Start Action” sambil berjaga di depan pintu.


bersambung…

21 replies on “Selamat Jalan, Rufi Rusa?”

@ghufron
hehehe, ya rencananya ntar seri petualangannya rufi ini akan dibundel dan disebarin dalam bentuk free ebook kok. Makanya kalo keburu ditamatin ntar kan ebooknya jadi ‘tipis’, hihihi.

@blogpreneur
iya, dia kasir. Soal buku… gak usah dipikiran lah buku yg dia baca itu, huehuehue

akan sangat bagus jika banyak anak indonesia yang peduli terhadap motivasi diri mereka. anda hebat menggunakan dongeng sebagai sarana motivasi seklaigus mengangkat budaya indonesi yang hampir tergerus jaman.
salut friend

Leave a Reply to Cosa Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *